Oleh: Syaikh Prof. DR. Abdur-Razzaq bin Abdil-Muhsin Al-‘Abbad
Diriwayatkan dari Al-Miqdad bin Al-Aswad radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya dia berkata:
( إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ.)
“Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah.”[1]
Banyak orang, di antara para aktivis Islam dan para penasihat yang mereka menginginkan kebaikan dan kebahagian untuk diri-diri mereka dan menginginkan ketinggian dan kemuliaan untuk umat Islam, mereka bertanya:
“Dengan apa kita bisa memperoleh kebahagiaan?”
“Bagaimana bisa memperoleh tujuan mulia ini?”
“Bagaimana cara terlindung dari berbagai macam fitnah?”
“Bagaimana seorang muslim bisa selamat dari kejelekan, bahaya dan keburukan fitnah?
Soal ini ditanyakan, karena setiap muslim yang suka menasihati dan (juga sebagai) aktifis Islam tidak menginginkan dirinya dan umat Islam (terjatuh ke dalam fitnah), karena di dalam hatinya terdapat kewajiban menasihati dirinya sendiri dan hamba-hamba Allah yang beriman. Orang tersebut mengamalkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
( الدِّينُ النَّصِيحَةُ.) قُلْنَا لِمَنْ؟ قَالَ: ( لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ.)
“Agama (seluruhnya) adalah nasihat.” Kami pun bertanya, “Untuk siapa?” Beliau pun menjawab, “Untuk Allah, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin.”[2]
Sebagai bentuk nasihat kepada diri sendiri dan orang lain adalah seorang hamba memperingatkan (orang lain) dari fitnah-fitnah dan berusaha sekuat mungkin untuk menjauhinya, membersihkan diri darinya, tidak terjatuh ke dalamnya dan berlindung kepada Allah dari fitnah-fitnah yang tampak, maupun yang tersembunyi.
Pada kesempatan ini, saya ingin menekankan beberapa poin penting, pondasi-pondasi agung dan kaidah-kaidah yang lurus, yang mana apabila seorang muslim memperhatikannya dan menjalankannya, maka dia akan terjauh dari fitnah -dengan izin Allah-. Kaidah-kaidah agung ini bersumber dari Kitabullah Al-‘Azîz dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut):
1. Sesungguhnya hal yang paling penting yang bisa membentengi diri seseorang dari keburukan dan bahaya fitnah adalah bertakwa kepada Allah jalla wa ‘ala dan senantiasanya menjaganya baik dalam keadaan tidak terlihat orang, maupun terlihat oleh orang lain.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ (3)}
“Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan memberikannya jalan keluar dan memberikan rezeki dari arah yang tidak dia sangka.” (QS At-Thalaq: 2-3)
Maksudnya adalah Allah akan mejadikan untuknya jalan keluar dari semua fitnah, ujian dan keburukan di dunia dan akhirat.
Allah ta’ala berfirman:
{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا }
“Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”(QS Ath-Thalaq: 4)
dan akibat (yang baik) itu selalu teruntuk orang yang bertakwa.
Ketika terjadi fitnah di zaman Tabi’in. Datanglah segerombolan penasihat kepada Thalq bin Habib rahimahullah. Mereka berkata, “Telah terjadi fitnah. Bagaimana agar kita terbentengi darinya?” Beliau pun menjawab, “Bentengilah dengan bertakwa.” Mereka pun berkata, “Jelaskanlah kepada kami tentang ketakwaan itu!” Beliau berkata, “Bertakwa kepada Allah adalah beramal dengan ketaatan kepada Allah, dengan cahaya dari Allah, mengharapkan rahmat Allah dan meninggalkan maksiat kepada-Nya dengan cahaya dari Allah karena takut siksa Allah.”
Dengan demikian, takwa kepada Allah bukanlah sekedar kata yang mudah diucapkan oleh seseorang dengan lidahnya atau hanya sekedar pengakuan saja. Sesungguhnya takwa kepada Allah hanya didapatkan dengan kesungguhan, perjuangan dan menasihati diri sendiri untuk taat kepada Allah, mendekat kepada-Nya dengan apa-apa yang Allah ridha-i, terutama dengan mengerjakan fardhu-fardhu dan kewajiban-kewajiban, serta menjauhi perbuatan maksiat dan kemungkaran. Barang siapa yang melakukan hal-hal tersebut -dengan izin Allah- maka dia akan mendapatkan akibat yang terpuji dan hasil yang bagus.
2. Di antara kaidah-kaidah penting untuk menghindari fitnah adalah mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta berpegang teguh dengan keduanya.
Sesungguhnya berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah jalan menuju kemuliaan, keselamatan dan keberuntungan hidup di dunia dan akhirat.
Imam Malik (Imam Daril-Hijrah) pernah berkata:
( اَلسُّنَّةُ سَفِيْنَةُ نُوْحٍ, فَمَنْ رَكِبَهَا نَجَا وَمَنْ تَرَكَهَا هَلَكَ وَغَرِقَ.)
“As-Sunnah adalah perahu (Nabi) Nuh. Barang siapa yang menaikinya maka akan selamat. Barang siapa yang meninggalkannya, maka dia akan binasa dan tenggelam.”
Barang siapa yang menjadikan As-Sunnah sebagai pemimpin hidupnya, maka dia akan berbicara dengan penuh hikmah, selamat dari fitnah dan mendapatkan dua kebaikan, yaitu: kebaikan dunia dan akhirat.
Terdapat hadits yang benar datangnya dari Al-‘Irbadh bin Sariyah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( إِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.)
“Sesungguhnya orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Wajib bagi kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Al-Khulafa-ur-Rasyidîn yang telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dia dengan gigi-gigi geraham kalian. Jauhilah oleh kalian hal-hal yang baru. Sesungguhnya hal-hal yang baru tersebut adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”[3]
Cara selamat ketika terjadi perselisihan dan cara selamat dari fitnah hanyalah bisa dilakukan dengan berpegang teguh dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhkan diri dari bid’ah (hal-hal baru dalam agama) dan hawa nafsu. Seseorang harus menjadikan As-Sunnah sebagai hakim untuk dirinya sendiri, menjadi hakim atas setiap apa-apa yang didatangi dan ditinggalkannya, pada setiap gerakan dan diamnya, berdiri dan duduknya dan seluruh urusannya.
Barang siapa yang halnya seperti itu, maka -dengan izin Allah- dia akan dijaga dan dilindungi dari setiap keburukan, mala petaka dan fitnah. Barang siapa tidak melakukan hal tersebut dan membiarkan hawa nafsunya tidak terkendali, maka sesungguhnya dia telah menyeret dirinya dan orang lain di antara hamba-hamba Allah ke dalam keburukan.
3. Di antara kaidah-kaidah penting untuk menjauhi fitnah adalah lemah lembut, tenang, tidak tergesa-gesa dan memikirkan akibat-akibat yang akan terjadi.
Sesungguhnya ketergesa-gesaan tidak akan mendatangkan kebaikan, sedangkan ketenangan akan membawa kebaikan dan keberkahan. Barang siapa yang selalu tergesa-gesa dalam setiap urusannya dan terburu-buru dalam mengambil tindakan, sesungguhnya dirinya tidak akan merasa aman dari ketergelinciran dan terjatuh kepada kesesatan dan kesalahan. Adapun orang yang lemah lembut, tenang, jauh dari ketergesa-gesaan, berpikir matang, tidak terburu-buru, selalu mempertimbangkan dan melihat akibat-akibat yang akan terjadi, sesungguhnya -dengan izin Allah- dia akan mendapatkan hasil-hasil terpuji yang akan membahagiakannya di dunia dan akhirat.
Diriwayatkan dari seorang sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin Mas’ûd radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia pernah berkata:
( إِنَّهَا سَتَكُوْنُ أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات فَعَلَيْكُمْ بِالتُّؤَدَةِ ، فَإنَّكَ أَنْ تَكُوْنَ تَابِعًا فِي الْخَيْرِ، خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَكُوْنَ رَأْسًا فِي الشَّرِّ.)
“Sesungguhnya akan ada hal-hal syubhat (samar). Wajib bagi kalian untuk berlahan-lahan. Sungguh, apabila engkau menjadi pengikut suatu kebaikan, itu lebih baik daripada engkau menjadi pemimpin suatu keburukan.”
Sesungguhnya orang-orang yang tergesa-gesa dan tidak berpikir matang dalam menangani urusan dan tidak tenang dan tidak perlahan, maka dia akan membuka untuk dirinya dan orang lain di antara hamba-hamba Allah suatu pintu keburukan dan mala petaka. Dia juga akan menanggung dan menyesali dosanya dan akan mengakibatkan bahaya yang sangat memberatkan.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( إِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ ، وَإِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ ، فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ ، وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ.)
“Sesungguhnya di antara manusia ada kunci-kunci (pembuka pintu) kebaikan dan gembok-gembok (penutup pintu) keburukan. Dan di antara manusia ada kunci-kunci (pembuka pintu) keburukan dan gembok-gembok (penutup pintu) kebaikan. Beruntunglah orang yang Allah jadikan kunci-kunci kebaikan tersebut di kedua tangannya. Dan celakalah orang yang Allah jadikan kunci-kunci keburukan di kedua tangannya.”[4]
Orang yang berakal selalu berhati-hati dalam melihat akibat-akibat yang akan terjadi. Dia akan selalu sabar, lembut, tenang, tidak tergesa-gesa dan tidak terburu-buru. Sesungguhnya ketergesa-gesaan dan keterburu-buruan tersebut akan menggiring orang yang memilikinya kepada akibat buruk yang fatal, bahaya yang pedih dan hasil yang buruk.
4. Di antara kaidah-kaidah yang penting adalah selalu bersama jamaah kaum muslimin dan menjauhkan diri dari perpecahan dan perselisihan.
Sesungguhnya perpecahan adalah suatu keburukan, sedangkan persatuan adalah rahmat. Dengan berjamaah, maka akan menghasilkan kesatuan, kekuatan ikatan dan ketinggian wibawa kaum muslimin. Dengan berjamaah akan terwujud persatuan tujuan mereka, terjadinya tolong menolong di antara mereka di atas kebaikan dan ketakwaan dan di atas segala hal yang dapat membahagiakan mereka di dunia dan akhirat.
Adapun perselisihan, sesungguhnya dia akan menggiring kepada keburukan-keburukan yang banyak, bahaya-bahaya yang bermacam-macam dan malapetaka yang akibatnya tidak akan terpuji.
Oleh karena itu, diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hadits tentang wasiat untuk mengikuti jamaah dan menghindari perpecahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ ، وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ.)
“Jamaah adalah rahmat (kasih sayang), sedangkan perpecahan adalah azab.”[5]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
( عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ.)
“Kalian wajib berjamaah dan hindarilah oleh kalian perpecahan.”[6]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
( يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ.)
“Tangan Allah berada di atas jamaah”[7]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
( لَا تَخْتَلِفُوا فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا.)
“Janganlah kalian berselisih pendapat. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah berselisih pendapat, sehingga mereka pun binasa.”[8]
5. Di antara kaidah-kaidah agung yang harus diperhatikan untuk melindungi diri dari fitnah dan menjauhi keburukannya adalah mengambil ilmu dari para ulama yang mendalam ilmunya dan para imam peneliti serta tidak mengambil ilmu dari orang-orang muda yang baru belajar ilmu dan hanya sebentar mencarinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ.)
“Keberkahan ada bersama orang-orang tua di antara kalian.”[9]
Keberkahan ada bersama pada orang-orang tua di antara kalian yang “kaki-kaki” mereka telah “tertancap” pada ilmu, yang masa belajarnya sangat lama untuk mendapatkannya, sehingga mereka memiliki kedudukan tinggi di antara umat, atas apa-apa yang Allah berikan kepada mereka berupa ilmu, hikmah, ketegaran, ketenangan dan kejelian dalam melihat akibat-akibat yang akan terjadi. Dan dari merekalah kita diperintahkan untuk mengambil ilmu.
Allah ta’ala berfirman:
{ وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا }
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalaulah mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil-amri (orang yang memegang urusan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil-amri). Kalaulah bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian).” (QS An-Nisa’: 83)
Barang siapa yang kembali kepada mereka (para ulama tersebut), maka akan merasa aman dari fitnah dan mendapatkan hasil yang terpuji.
6. Di antara kaidah-kaidah penting untuk terhindar dari fitnah adalah bagusnya hubungan dengan Allah dan berdoa kepada-Nya subhanahu .
Sesungguhnya doa adalah kunci dari setiap kebaikan di dunia dan akhirat. Terlebih lagi, permohonan kepada Allah agar kaum muslimin dijauhkan dari fitnah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Berlindung kepada-Nya subhanahu wa ta’ala dari fitnah-fitnah yang menyesatkan. Sesungguhnya, siapa yang meminta perlindungan kepada Allah, maka Allah akan melindunginya. Siapa yang memohon kepada-Nya, maka Allah akan mengabulkannya. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan mengecewakan seorang hamba yang berdoa kepada-Nya dan tidak akan menolak seorang hamba yang memanggil-Nya. Dia adalah yang berkata:
{ وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ }
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Oleh karena itu, hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS Al-Baqarah: 186)
Dan kita memohon kepada Allah Al-Karîm dengan menggunakan Al-Asma-ul-Husna-Nya dan Sifat-sifat-Nya yang tinggi agar Allah menjauhkan fitnah dari kaum muslimin, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, agar Allah menjaga keamanan dan keimanan kaum muslimin, agar Allah menjaga mereka dari seluruh keburukan, agar Allah menjadikan untuk mereka akibat-akibat dan masa depan yang terpuji dan akhir yang baik. Sesungguhnya Dia-lah subhanahu (Yang Maha Suci), Maha mendengar Doa, Dia-lah Yang memiliki pengharapan kita, Cukuplah Dia Yang mencukupkan kita dan Dia-lah sebaik-baik Al-Wakîl (tempat bergantung).
Diterjemahkan oleh Abu Ahmad Said Yai, MA dari makalah beliau yang berjudul ‘Dhawabithu Litajannubil-Fitan’. Makalah tersebut bisa di-download di situs resmi beliau: www.al-badr.net .
Keterangan:
[1] HR Abu Dawud no. 4263. Syaikh Al-Albani rahimahullah men-shahîh-kannya dalam Shahîh Sunan Abî Dawud.
[2] HR Muslim no. 55 dari hadits Tamim Ad-Dari radhiallahu ‘anhu.
[3] HR Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42. Syaikh Al-Albani men-shahîh-kannya dalam Shahîh Sunan Abî Dawud no. 3851.
[4] HR Ibnu Majah no. 237. Syaikh Al-Albani meng-hasan-kannya dalan Shahîh Sunan Ibni Majah no 193.
[5] HR Ahmad (IV/278) dari hadits An-Nu’man bin Basyîr radhiallahu ‘anhuma. Syaikh Al-Albani meng-hasan-kannya dalam Shahîh Al-Jami’ no. 3109.
[6] HR At-Tirmidzi no. 2165 dari hadits ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu. Syaikh Al-Albani men-shahîh-kannya dalam Shahîh Sunan At-Tirmidzi no. 1758.
[7] HR Ibnu Abî ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 81 dari hadits Usamah bin Syarîk radhiallahu ‘anhu. Syaikh Al-Albani rahimahullah men-shahih-kannya dalam Dzhilalul-Jannah.
[8] HR Al-Bukhari no. 2410 dari hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu.
[9] HR Ibnu Hibban no. 559 dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. Syaikh Al-Albani men-shahîh-kannya dalam Ash-Shahîhah no. 1778.